Jumat, 17 Mei 2013

Anak Indonesia dan Moralitas Bangsa yang Hilang

Oleh : Miarti
Jika kita mencoba mengukur beban anak zaman sekarang dan anak zaman dahulu, barangkali anak zaman sekarang jauh lebih berbeban. Mulai dari dampak kemudahan teknologi yang cukup sulit untuk diredam, permasalahan moral yang terus mengemuka, serta banyaknya perilaku aneh yang mengakibatkan tipisnya pengertian apakah seseorang bisa dikatakan manusia atau bukan.
Selain itu, rangkaian masalah di negeri ini seolah tiada akhir. Korupsi yang tak berkesudahan, pengangguran dimana-mana, kemiskinan yang merajalela, keadilan yang tak juga mengejawantah, penderitaan para TKI yang tak tertuntaskan, penganiayaan terhadap anak kandung, penjualan anak di bawah umur, banyaknya mavia peradilan alias markus, perilaku bohemian orang-orang berduit, kasus narkoba hingga kematian yang diakibatkan karena menenggak minuman oplosan, berita heboh video mesum mirip artis, serta kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang anak.
Rangkaian potret buram bangsa kita secara tidak langsung menjadi fatamorgana memilukan bagi kelangsungan hidup anak-anak. Banyak hal yang seharusnya sangat tidak boleh untuk mereka dengar dan mereka lihat, namun ternyata bisa mereka dapatkan dengan sangat mudah. Padahal sejatinya, seorang anak dengan segala genuinitas yang dimilikinya, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menangkap dan merekam berbagai objek. Sehingga dengan sangat mudahnya mereka mempelajari sesuatu bahkan tanpa kita ajari secara langsung sekalipun.

Anak memang merupakan pribadi yang unik. Ada berjuta gagasan cerdas yang muncul dari otak jeniusnya. Ada beribu pertanyaan menarik yang tersimpan didalam benaknya. Ada bermilyar pengetahuan yang terekam dalam memorinya.  Sungguh pribadi itu suatu anugrah yang sangat berharga. Oleh karena itulah, berbagai tindakan preventif yang arif dan mendidik adalah niscaya. Jangan sampai kehebatan dan kemuliaan pribadinya hangus dan terberangus oleh kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan oleh orang-orang dewasa.
Kehebatan daya tangkap anak seharusnya berbanding lurus dengan berbagai stimulasi yang mendidik dan mencerdaskan. Kehebatan otaknya yang genius dengan miliaran sel saraf menakjubkan, seharusnya menjadi lahan subur bagi kita sebagai orang dewasa untuk mengolahnya menjadi anak cerdas berkualitas. Keceriaannya yang khas dan kepolosannya yang memesona, seharusnya tetap bisa ditampilkan dengan natural tanpa adanya intervensi negatif dalam bentuk amarah orang dewasa dan celaan yang menyakitkan. Namun kenyataan yang terjadi justru potret demoralisasi yang dengan sangat mudah untuk dilihat, ditiru dan diikuti jejaknya. Maka tak heran bila ada seorang bocah tiga tahun dengan begitu lihainya berargumen ala peran antagonis di sebuah sinetron. Tak heran bila seorang anak sudah sangat familiar dengan narkoba. Tak heran pula bila ada seorang anak SD yang mencoba bunuh diri hanya gara-gara tidak mampu membayar biaya sekolah. Dan sangat tidak heran apabila ada anak SD yang melakukan tindakan asulila (mesum) seperti yang dicontohkan di internet dan diberitakan di televisi.
Menyelematkan moral anak memang bukanlah perkara yang simplitis dan pragmatis. Menyelesaikannya membutuhkan banyak elemen. Tidak cukup pihak sekolah yang memiliki tugas mendidik dan membina anak. Namun keluarga pun sejatinya memiliki porsi tanggungjawab yang jauh lebih banyak.
Salah satu hal yang perlu dianggap prioritas yang perlu kita upayakan guna menyelematkan anak-anak kita dari berbagai potret buram bangsa kita yang kini semakin mngemuka adalah penanaman kesadaran ber-Tuhan. Tanamkan kesadaran pada mereka bahwa segala bentuk perilaku, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang baik maupun yang buruk, semuanya akan dilihat dan direkam oleh SWT. Dengan bahasa yang sangat sederhana, Anda bisa menyampaikannya seperti contoh berikut.
· Allah akan tahu terhadap siapapun yang berbohong
· Allah juga pasti akan melihat apapun yang dilakukan manusia walaupun dengan cara-cara sembunyi-sembunyi
· Allah akan mendengar perkataan setiap ummat-Nya. Tangisan, rengekan, kata-kata kasar, semuanya akan didengar oleh Allah. Bahkan kata-kata yang diucapkan dalam hati pun didengar Allah.
Tak cukup sampai disana. Upaya kita belum tuntas hanya dengan menanamkan kesadaran ber-Tuhan. Namun kita juga perlu merenungi kembali tentang masalah yang bermunculan di negeri ini. Dalam hal ini, barangkali kita perlu belajar membuka hati dan menerima terhadap masalah yang ada tanpa ada kesan mendukung terhadap kebrokbrokan moral yang terjadi.
Dan dengan adanya permasalahaan yang semakin mengemuka, barangkali kita perlu mengambil sebuah pelajaran tentang pentingnya sikap optimistis. Dan bagaimana pula sikap optimistis itu kita duplikasikan kepada anak-anak kita. Oleh karena itu, kita harus bisa memastikan kepada anak-anak kita bahwa negeri ini tak selamanya penuh dengan kompleksitas masalah seperti sekarang ini. Kita juga perlu yakinkan pada mereka bahwa negeri ini bisa berubah. Maka siapa lagikah yang akan mengubah dan memperbaiki negeri ini dari segala kesemerawutan kalau bukan anak-anak kita. Karena kecemerlangan peradaban bangsa kita ada di tangan mereka. Bukan di tangan kita. Maka betapa gagalnya kita bila anak-anak harus meneruskan jejak kehancuran. Betapa meruginya kita ketika anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi penerus pelaku korupsi, penerus pelaku pembunuhan, penerus pelaku videu mesum, penerus mavia kasus. Na’udzubillaahimindzalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jazakumullah khoiran